Berawal dari ketidakpuasan terhadap jurnalisme mainstream, jurnalisme warga hadir sebagai bentuk perlawanan. Kemunculannya membawa harapan dan ketakutan sekaligus.

 

Jurnalisme masa kini tidak menawarkan apa-apa kecuali keseragaman. Tengok saja headline berita koran nasional. Hampir semua menjajakan berita yang tak jauh berbeda. Paling banter judul dan sudut pandangnya yang tak sama. Itupun tak jauh, hanya sedikit variasi kutipan. Dalam takaran level analisis jangan harap menemukan varian yang kaya perspektif. Tak heran, banyak yang jengah. Media massa nasional seolah menyetir apa yang perlu dan penting diberitakan. Lantas kebenaran menjadi monopoli mereka yang bernama pegiat media.

Berawal dari kejengahan itulah jurnalisme warga, atau jurnalisme publik, hadir. Bambang MBK, Aliansi Jurnalisme Independen (AJI) Yogyakarta, memaparkan setidaknya ada tiga faktor yang menjadi centang perenang munculnya jurnalisme warga. Yaitu, keseragaman dan keelitisan berita di media massa nasional, banyaknya jurnalis yang melanggar kode etik, dan ketidakmampuan jurnalisme mainstream menjawab kebutuhan informasi warga.

Menurut  wartawan freelance ini, pada prinsipnya jurnalisme warga memberikan kesempatan setiap warga untuk menjadi ‘penyaksi’. Warga dapat membuat berita atas fakta yang dialami dalam media cetak, elektronik, maupun on-line. Dengan kata lain, berita dari, untuk, dan oleh warga.

Awalnya jurnalisme warga hadir lewat media cetak. Warga yang tak  puas dengan isi koran nasional maupun lokal membuat koran mereka sendiri. Semacam koran komunitas yang isinya tentang kondisi sekitar. Lantas muncul juga radio dan televisi komunitas sebagai tanggapan atas perkembangan teknologi penyiaran.

Jurnalisme warga mengalami euforia seiring masifnya akses internet di masyarakat. Teknologi informasi yang kian terjangkau membuat pegiat jurnalisme warga mulai melirik jurnalisme on-line. Menjamurnya blogger memberikan jurnalisme warga tenaga reporter yang hampir tak terbatas. Mekanisme self- sensorship dan verifikasi menjadi senjata terhadap anarkisme berita. Alhasil, jurnalisme warga memberikan alternatif dalam akses berita dan membuka jalan baru masyarakat komunikasi ala Habermas. 

Internet membuka peluang arus informasi yang lebih demokratis. Ia juga memungkinkan jurnalisme warga lebih kuat secara isi dan substansi. Peran strategis internet sebagai ruang bersama inilah barangkali bisa ditempatkan sebagai salah satu jejak perkembangan jurnalisme warga. Semangat pembongkaran wilayah eksklusif media massa yang elitis terwakili. Warga bebas menentukan apa yang ingin dan ia anggap perlu untuk diberitakan. Birokrasi berbelit dan bertingkat dalam media massa coba dieliminasi lewat keberadaan jurnalisme warga. Jurnalisme warga menawarkan harapan atas demokratisasi arus informasi.

Namun, laiknya wacana alternatif lain, jurnalisme warga juga menyisakan pekerjaan rumah yang perlu dicari jalan keluarnya. Pertama, keanoniman. Konsep ini memungkinkan seseorang mengirim posting dengan identitas tak dikenali. Bak pedang bermata dua, konsep anonim memberikan ‘perlindungan’ bagi siapapun yang hendak bersuara. Status di dunia nyata tak banyak berarti tatkala sambang ke dunia maya. Tak perlu takut diburu jikalau suara terdengar saru. Pun tak usah gentar bila memang kebenaran butuh diungkap. Kerahasiaan identitas menjadi privillage bagi whistleblower yang berselancar di dunia maya.

Namun, konsep anonim ini juga memberikan celah bagi posting yang tidak bertanggung jawab. Semakin anonim semakin sulit sebuah pernyataan dipegang kebenarannya. Keanoniman juga membuka akses terhadap penyalahgunaan wewenang. Memang, keanoniman di dunia maya masih bisa dsingkap dari jejak-jejak digitalnya. Namun, untuk mengungkapnya butuh dana yang tak sedikit. Begitu banyak pengguna yang memakai anonim sebagai identitas. Lantas, berapa banyak dana (dan waktu) yang dibutuhkan?

Kedua, ledakan informasi. Jurnalisme warga memungkinkan masyarakat mendapat beragam perspektif dari sebuah peristiwa. Layaknya sebuah puzzle, jurnalisme warga mampu mengumpulkan lebih banyak puzzle daripada jurnalisme mainstream. Masalahnya, bagaimana jika puzzle yang dikumpulkan terlalu banyak? atau bagaimana bila kumpulan puzzle itu bukan sebuah gambaran utuh melainkan saling tercampur antara puzzle satu dan yang lain? Dengan kata lain jurnalisme warga juga membuka kemungkinan terjadinya ledakan (bukab hanya luapan) arus informasi. Bayangkan berapa banyak posting yang masuk tatkala lebih dari 50%  warga meng-upload berita. Ledakan arus informasi ini akan menyisakan sampah-sampah informasi yang entah bagaimana menanggulanginya.

Ketiga, akses teknologi. Jer Besuki Mawa Beya, begitu kata orang jawa. Setiap kebaikan butuh pengorbanan. Dengan kata lain, semua teknologi butuh biaya. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah terpelik. Jurnalisme warga membutuhkan akses terhadap alat-alat produksi jurnalisme. Keberadaan jurnalisme warga secara on-line membutuhkan akses internet yang memadai. Padahal, tak semua orang bisa mengakses internet secara bebas. Setidaknya dibutuhkan alat yang harganya tak semua orang bisa menjangkau. Lagi-lagi masyrakat komunikasi yang dicita-citakan Habermas masih terganjal dengan urusan teknis teknologi.

Terakhir, literasi. Untuk mengakses sebuah media dibutuhkan tingkat pembacaan dan pemahaman memadai. Jurnalisme warga, terutama secara on-line,  membutuhkan literasi yang cukup tinggi. Padahal, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum bisa baca tulis dan lebih banyak lagi yang belum memiliki literasi media yang cukup.

Bukan berarti menafikan atau menganggap mereka yang berada di pelosok buta literasi. Tentu saja bukan. Terlalu angkuh menganggap masyarakat pelosok di Indonesia sebagai kumpulan orang-orang bodoh tak tepelajar. Sudah banyak masyarakat Bantul yang mengakses internet berkala. Bahkan Desa Pabelan menjadi pilot project program internet masuk desa. Desa di Muntilan ini pun menjadi sorotan dunia. Akan tetapi, tak banyak masyarakat desa yang seberuntung teman-teman di Bantul dan Pabelan. Jika dirata-rata, lebih banyak masyarakat yang tingkat literasinya kurang. Jika sudah begini, lagi-lagi jurnalisme warga hanya menjadi monopoli dan dominasi mereka yang mampu mengakses. Lagi-lagi, media massa baru ini menjadi ajang hegemoni. Masyarakat komunikasi dan ruang publik (public sphere) yang lebih berimbang masih jauh dari panggang.

Bukan berarti, jurnalisme warga habis seketika dihadapkan dengan rumpangan masalah tersebut. Justru ini menjadi pemantik agar wacana jurnalisme warga digarap lebih serius. Masalah-masalah tersebut tidak akan berarti jikalau ditandingkan dengan semangat dan harapan terciptanya masyarakat yang lebih demokratis. Jurnalisme warga memang tak menjamin terciptanya masyarakat komunikasi tetapi ia mendorong ke arah sana. Jurnalisme warga bukanlah sebuah akhir pencarian melainkan awal perjuangan. Tabik [^^]